SIAPA bilang Facebook (selanjutnya FB) hanya ajang bercuap-cuap saja. Kebiasaan mengunjungi jejaring sosial yang satu ini dimalam hari ternyata mampu memberikan varian informasi yang menarik. Kali ini informasi yang saya ingin share dari petualangan di FB adalah Program Indonesia Mengajar. Saya berani katakan bahwa program ini sangat bagus dan bisa memberikan pengalaman yang tak terlupakan bahkan bisa menginspirasi banyak calon pemimpin bangsa masa depan.
Sebelum mengenal jauh apa itu program Indonesia Mengajar, ada baiknya rekan-rekan sekalian sedikit membaca pengalaman dibawah ini.
Calon Pemimpin Besar Negeri Ini (a.k.a. Jatuh Cinta Setengah Mati – part one)
Ayu Kartika Dewi,Pengajar Muda di Kabupaten Halmahera Selatan
Pak Arif Rahman, guru yang luar biasa itu, pernah berpesan sebelum kami diberangkatkan untuk tugas kehormatan ini: selama setahun mengajar, jangan jatuh cinta ya!
Ketika itu kami semua tersenyum simpul. Ada yang tersenyum karena memang yakin akan ada yang jatuh cinta, ada juga yang tersenyum karena tak yakin apa ada yang bisa di-jatuhcinta-i di pelosok nusantara nanti.
Nyatanya, hanya setelah satu minggu saya ada di sini, saya sudah jatuh cinta setengah mati.
Namanya Lusiman, seorang anak kelas 6 SD. Lusiman Senen lengkapnya. Teman-temannya biasa memanggilnya Iman.
Selalu ada saja tingkahnya yang membuatku semakin terkagum-kagum. Sulit rasanya membayangkan bila anak secerdas, seceria, dan sepemberontak Iman kelak tidak menjadi seorang pemimpin besar negeri ini. Di usia semuda itu, sudah jelas nampak Iman adalah sosok kharismatik yang disenangi dan didengarkan teman-temannya.
Maka tulisan ini adalah sedikit petikan dari seribu satu alasan mengapa aku jatuh cinta pada Iman.
Suatu hari ketika saya sedang mengajar di kelasnya, ada yang melemparkan sebungkus permen lewat kaca jendela yang sudah pecah. Di kemasannya ada surat singkat: untuk Iman. Dengan riang dia mengambil kado itu, membacanya sebentar, lalu memasukkannya ke kantong bajunya dan meneruskan mengikuti pelajaran seperti tidak terjadi apa-apa.
Minggu lalu kami mengadakan pertandingan bola di sekolah. Ketika ada pemain cadangan yang sudah gelisah karena ia belum diturunkan juga setelah sekian menit permainan berlangsung, Iman biasanya adalah orang pertama yang berbesar hati menawarkan diri untuk diganti. Dan selalu saja dilarang oleh teman-temannya. Bagaimana tidak, Iman adalah top scorer di liga sepakbola ini.
Dalam sebuah pertandingan, tim lawan melakukan pelanggaran yang mengakibatkan wasit memberikan tendangan penalti untuk tim Iman. Sebagai striker utama dan kapten tim, Iman bisa saja dengan mudah mengambil kesempatan emas itu. Tapi tidak, Iman dengan besar hati justru meminta salah satu anggota timnya untuk menendang bola. ‘Tendang sudah!’, ucapnya dalam bahasa Indonesia pasar khas Halmahera. Meski tidak membuahkan gol, kejadian mengagumkan itu adalah salah satu momen yang paling saya ingat dari rangkaian pertandingan bola ini.
Anak bandel ini tidak mau terkungkung dengan cara belajar konvensional. Membosankan, katanya. Setiap malam dia datang ke rumah dengan rasa ingin tahu yang meluap-luap. Herannya, setiap saya memberikan buku untuk dibaca atau soal untuk dikerjakan, dia akan menghilang hanya sekejap setelah saya memalingkan pandangan. Namun bila saya sedang bercerita, tentang apa saja, mulai dongeng dari negeri antah berantah, atau tentang tata surya, atau tentang makhluk apa sebenarnya demokrasi itu, ia akan mendengarkan dengan mata berbinar. Seringkali ia belum mau pulang meskipun saya sudah selesai berkisah.
Siang itu, jam pelajaran terakhir, saya meminta anak-anak untuk duduk melingkar di lantai. Saya memutar-mutar sebuah bola pingpong dan mengilustrasikan bagaimana bumi berotasi. ‘Oooh, jadi bukan matahari yang berputar ya, Bu?’, tanya Iman sambil terus memperhatikan bola pingpong berwarna oranye itu takjub. Saya tersenyum dan mengangguk.
Kali lain, selepas kami ‘bermain’ tata surya, kami duduk lagi di sudut lantai yang sama dan saling menceritakan bagaimana masa rotasi dan revolusi tiap planet berbeda-beda. Ketika saya sampai di Jupiter, yang masa rotasinya adalah 90 hari bumi, Iman sambil tertawa berceletuk, ‘wah, kalau kita puasa di Jupiter bisa mati ya, Bu?’. Luar biasa, daya nalar anak itu bisa mengambil kesimpulan sejauh dan secerdas ini tentang masa rotasi sebuah planet.
Seperti biasa sepulang sekolah saya menyempatkan mampir ke salah satu rumah murid untuk sekedar ngobrol dengan orang tuanya. Siang itu saya memutuskan untuk mampir ke rumah Iman yang hanya berjarak 4 rumah dari tempatku tinggal. Ketika kami melewati pintu rumahnya yang selalu terbuka -karena pintu rumah di desa tidak dibuat untuk menahan orang tapi untuk menahan angin- ada seorang anak kecil tetangga yang sedang duduk di ruang tengah di rumahnya dan tampak sedang kesulitan membuka sebuah kemasan kudapan. Dia dengan tenang mengambil kudapan itu, membukakannya, dan mengembalikan ke anak kecil itu, dan berpaling ke hadapanku, ‘Ibu mau minum air putih?’. Saya mengangguk sambil masih sedikit tertegun.
Ketika hari Senin dia mengibarkan Sang Merah Putih, dan lagu Indonesia Raya berkumandang lantang dari speaker mungil laptopku, air mataku berlelehan. Haru. Bangga.
Siang itu pelajaran Bahasa Indonesia, saya mengajak anak-anak menulis puisi. Ini adalah puisi yang Iman tulis, yang langsung saya simpan di hp saya dan saya baca ulang setiap kali saya merasa perlu kobaran semangat baru. Perhatikan bahwa huruf depan dari setiap barisnya membentuk kata BELAJAR DI SEKOLA (yup, dia tidak menuliskan huruf H-nya J) Bu, Engkau Lah yang memberi Aku ilmu, untuk aku Juga teman-temanku Aku sangat bangga padamu. Aku dan Regu kami di sekolah senang melihat ibu Di sekolahku Ini ada Seorang ibu di kelas Enam. Dia sangat baik hati Kalau aku juga ingin seperti guruku Oleh ibuku membuat aku pintar Lalu aku punya ibu bernama ibu Ayu
Begitulah, aku jatuh cinta setengah mati. Bila aku hanya boleh mengajar di satu sekolah, maka aku ingin mengajar di sekolah tempat Iman belajar. Bila aku hanya boleh mengajar di satu kelas, maka aku ingin mengajar di kelas tempat Iman belajar. Dan bila aku hanya boleh mengajar satu anak, maka aku ingin mengajar Iman.
Catatan: sesuai dengan azas keadilan yang harus dipegang oleh seorang guru, Iman sama sekali tidak tahu bahwa ia adalah cintaku dan semangatku. Iman adalah satu-satunya anak yang pernah saya perintahkan untuk keluar kelas. Dalam sebuah kelas matematika, Iman terus-menerus bermain-main dan melompat-lompat di kelas ketika saya sedang mengajar. Setelah dua kali diingatkan, akhirnya saya berkata pelan, ‘Iman, mainlah di luar. Nanti jam berikutnya masuklah lagi.’ Iman langsung duduk di kursinya, meskipun, dasar Iman, bandel, ia tidak mau keluar kelas.
Cerita diatas sangat menginspirasi bukan? cerita diatas bukan sekedar cerita biasa, tetapi pengalaman yang mungkin saja akan menjadi kenangan tak terlupakan. Bahkan penulis blog ini juga pernah merasakan yang dinamakan jatuh cinta setengah mati seperti yang diceritakan saudari Ayu diatas. Tepatnya ketika mengikuti KKN (Kuliah Kerja Nyata) yang mengharuskan tinggal dan mengabdi selama 1 bulan di salah satu pelosok desa di Pulau Madura.
Pengalaman singkat jatuh cinta setengah matinya seperti ini. Disana ada seorang anak SD kelas 6 di salah satu SD Negeri di pelosok desa tersebut. Kondisi SDN itu boleh saya umpakan antara SD Muhammadiyah dan PN Timah di film Laskar Pelangi. Dan bocah yang saya maksud berasal dari SD yang setara dengan SD Muhammadiyah. Semangat belajarnya menggebu, pagi belajar di sekolah, siang di madrasah dan setelah itu bocah tersebut (bernama Ricky: bocah pengungsi sampit) bersama kawan-kawannya sudah berkumpul di markas kami (1 tim 10 orang) sampai malam hari. Mereka selalu minta jatah kepada kami. Jatah yang mereka pinta adalah "Ajari Kami". Siapa yang tidak terenyuh dan bersemangat melihat tingkah mereka seperti itu?
Tetapi saat itu, saya hanya bisa berkumpul dengan mereka selama 2 minggu saja, karena 8 hari lamanya saya harus terbaring lemah di dua rumah sakit berbeda sekaligus berjuang melawan penyakit demam berdarah. Dan 7 hari berikutnya diharuskan istirahat di rumah saja. Sekembalinya ke desa tersebut pada minggu terakhir, kami putarkan film Laskar Pelangi dalam tiga sesi sekaligus. Dua sesi di SD Negeri dan satu sesi nonton bareng bersama masyarakat. Sambil nonton bareng, saya berikan penjelasan kondisi, nilai-nilai sesuai yang ada di novel dan kobaran semangat untuk mereka saat menonton. Tak sedikit raut muka mereka yang terlihat terkagum-kagum dengan pesan film Laskar Pelangi bahkan ada yang menangis. Yes..!! berhasil....!! sedikit ekspresi kepuasaanku saat itu.
Harapan besar kami saat itu hanya satu, orang tua di desa tersebut bisa memberikan kesempatan untuk anak-anak mereka untuk memiliki semangat dan kesempatan untuk lebih maju melalui pendidikan. Terbayang kan, kepuasaan KKN satu bulan saja seperti itu. Kami pun dihadiahi tangisan saat kami pamit pulang untuk mengakhiri rangkaian kegiatan KKN kami. Bagaimana dengan Program Indonesia Mengajar yang masa abdinya sampai 1 tahun ini. Saya yakin program ini bisa memberi perubahan yang jauh lebih besar dan lebih berkesan.
Tentang Kami
Melalui Indonesia Mengajar, kita mengajak putra-putri terbaik di republik ini, generasi baru yang terdidik, berprestasi dan memiliki semangat juang untuk menjadi Guru SD selama 1 tahun di pelosok Indonesia.
Indonesia Mengajar adalah sebuah ikhtiar untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Indonesia Mengajar tidak berpretensi untuk menyelesaikan seluruh persoalan pendidikan di Indonesia. Indonesia Mengajar meyakini bahwa hadirnya putra-putri terbaik Indonesia sebagai guru mendorong peningkatan kualitas pendidikan kita.
Indonesia Mengajar yakin bahwa pendidikan adalah sebuah gerakan. Pendidikan bukan sekedar program yang dijalankan pemerintah, sekolah dan para guru. Pendidikan adalah gerakan mencerdaskan bangsa yang harus melibatkan semua orang. Ini semua didasarkan pada keyakinan kita bahwa mendidik adalah tugas setiap orang terdidik.
Indonesia Mengajar menempatkan sarjana-sarjana terbaik di pelosok negeri. Kehadiran mereka disana untuk mengajar, mendidik, menginspirasi dan menjadi jembatan bagi masyarakat desa-desa dengan pusat-pusat kemajuan. Di pelosok negeri itu, para Pengajar Muda akan memiliki kawan baru, rumah baru, dan keluarga baru. Desa-desa itu akan selalu menjadi bagian dari diri mereka. Begitu juga sebaliknya, para Pengajar Muda itu akan meninggalkan ilmu, inspirasi dan kenangan di masyarakat desa di pelosok negeri. Tanda pahala para Pengajar Muda itu akan membekas di setiap prestasi anak-anak dan di setiap kemajuan di desa-desa. Indonesia Mengajar yakin bahwa itu semua adalah rajutan erat yang akan menguatkan tenun kebangsaan kita.
Indonesia Mengajar yakin bahwa "Setahun Mengajar, Seumur Hidup Menginspirasi"
- Anies Baswedan -
Mulailah cerita besar-mu dari langkah kecil pertama-mu...
Jadilah Pengajar Muda angkatan berikutnya!
Sekedar informasi saja program ini rata-rata telah diikuti oleh fresh graduate ternama seperti UI, UGM, UNAIR, Padjajaran, ITB, IPB dan Universitas ternama lainnya. Informasi lebih lengkapnya, silahkan langsung berkunjung ke link berikut ini : http://www.indonesiamengajar.org
pengalaman serupa jg pernah aku rasakan, juga pas KKN. ketika mendapat kesempatan ngajar di SD yang terpencil, belum ada listrik, namun antusias dan keingin tahuan murid2 sana yg luar biasa...
pengalaman serupa jg pernah aku rasakan, juga pas KKN.
ReplyDeleteketika mendapat kesempatan ngajar di SD yang terpencil, belum ada listrik, namun antusias dan keingin tahuan murid2 sana yg luar biasa...
Niyasyah: pengalaman psikologis yang asyik kan ?? smoga Ricky dan tmnnya bisa melanjutkan ke SMP nanti bulan agustus .... :)
ReplyDelete